A. Pengertian Sosiologi Politik
Sebelum membahas perkembangan, pendekatan dan peranan sosiologi politik, terlebih dahulu perlu memahami pengertian dan hakikat sosiologi politik. Hal ini penting, agar dalam mempelajari materi selanjutnya memiliki pemahaman yang jelas mengenai apa itu sosiologi politik, apa cakupannya dan di mana posisinya antara sosiologi dan ilmu politik? Apakah sebagai cabang dari sosiologi, atau merupakan pokok bahasan tersendiri terpisah dari kedua disiplin ilmu tersebut? Sosiologi politik berasal dari dua kata, yang secara terpisah mempunyai arti sendiri-sendiri sebagai suatu disiplin ilmu, yaitu sosiologi dan politik. Istilah "sosiologi" pertama kali dimunculkan oleh Auguste Comte (1798-1857), salah seorang pendiri disiplin ilmu ini, pada tahun 1839 di dalam bukunya Cours de Philosophie Positive, jilid IV (Duverger, 1989, hal 1). Secara sederhana "sosiologi" berarti studi tentang masyarakat dipandang dari suatu segi tertentu. Comte dan 'Spencer (1820-1903) yang juga seorang pendiri lainnya (Rush & Althoff, 1990: 1), menekankan masyarakat sebagai unit dasar dari analisis sosiologis. Sementara, berbagai lembaga lainnya, seperti.. keluarga, dan lembaga-lembaga politik, ekonomi dan keagamaan dan interelasi antara lembaga-lembaga tersebut merupakan sub-unit dari analiskPara sosiolog modern mendefinisikan sosiologi sebagai "ilmu pengetahuan yang membahas kelompok-kelompok sosial" (Jhonson, 1961: 2)
dan "studi mengenai interaksi-interaksi manusia dan interrelasinya" (Ginsburg,
1934: 7). Dari sudut pandang ini, sosiologi memberikan pusat perhatian pada tingkah laku individual dan tingkah laku kolektifnya secara terpisah dari masyarakat, karena hal ini bukan merupakan bidang kajian psikiarti dan psikologi, melainkan tingkah laku manusia dalam konteks sosial.
Dari uraian di atas, dapat kita ikhtisarkan beberapa pengertian sosiologi
sebagai berikut:
1. sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang masyarakat;
2. sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat;
3. sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, baik individu maupun kelompok dan relasinya dengan masyarakat, atau tingkah laku manusia dalam konteks sosial. Setelah dipahami apa itu sosiologi, selanjutnya perlu dipahami apa itu "politik". Banyak batasan mengenai apa itu "politik". Beragamnya batasan ini sangat tergantung dari sudut pandang para pembuat batasan itu masing- masing. Para pembuat batasan hanya meneropong satu aspek atau unsur saja dari politik. Unsur itu diperiakukannya sebagai konsep pokok, yang dipakainya untuk meneropong unsur-unsur lainnya. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan kita untuk memahami apa itu politik. Namun demikian untuk memberikan gambaran mengenai apa itu politik, berikut akan diuraikan konsep-konsep pokok yang mendasari perumusan atasan mengenai politik. Miriam Budiarjo (7) mengemukakan bahwa konsep-konsep pokok mengenai politik adalah "negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijaksanaan (policys beleid) dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)". Secara terurai, Miriam Budiarjo menjelaskan bahwa politik adalah "bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu yang di dalamnya terdapat proses pengambilan keputusan". Dalam melaksanakan tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum (pubilc policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu perlu dimiliki kekuasaaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik, untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang timbul dalam proses ini.
Penjelasan yang lebih kurang sama, dikemukakan oleh Rush dan Althoff mengenai esensi dari politik. Menurutnya batasan mengenai politik bermacam- macam. Politik bisa diartikan sebagai proses penyelesaian dari konflik-konflik manusia: atau proses dimana masyarakat membuat keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan-kebijakan tertentu: atau secara otoritatif mengalokasikan sumber-sumber dan nilai-nilai tertentu', atau berupa pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh di dalam masyarakat.
Namun demikian, menurut Rush dan Althoff, meskipun politik itu memiliki batasan yang bermacam-macam, akan sangat membantu apabila menganggap kekuasaan sebagai titik sentral dari studi politik. Batasan ini juga disepakati oleh Duverger (1989) dan beberapa pakar lainnya. Dengan demikian tampaknya kita menyepakati bahwa politik dibatasi sebagai "masalah kekuasaan", dan tentunya kita pun sepakat pula membatasi ilmu politik sebagai "ilmu tentang kekuasaan".Dua pengertian, yaitu "sosiologi" dan "politik" atau "ilmu politik" telah dipahami dengan baik. Selanjutnya perlu dipahami apa itu "sosiologi politik", bagaimana konsepsi dasarnya? Apakah pengertiannya merupakan gabungan dari pengertian sosiologi dan pengertian politik atau memiliki pengertian tersendiri. Uraian berikut akan memberikan pemahaman?
Mengacu pada pemikiran Duverger (1989), ada dua arti mengenai "sosiologi politik". Pengertian pertama, menganggap sosiologi politik sebagai "ilmu tentang negara", dan yang kedua, menganggap sosiologi politik sebagai "ilmu tentang kekuasaan".
B. Konsep Sosiologi Politik sebagai Ilmu Negara dan sebagai llmu Tentang
Kekuasaan
Konsep ini mempergunakan kata politik dalam konotasi yang biasa, yaitu yang berhubungan dengan "negara". Kata negara di sini dimaksudkan untuk mengartikan kategori khusus dari kelompokkelompok manusia atau masyarakat. Pertama negara bangsa (nation state) dan kedua negara pemerintah (government state). Negara bangsa menunjukkan masyarakat nasional, yaitu komunitas yang muncul pada akhir zaman pertengahan dan kini menjadi paling kuat terorganisir dan paling utuh berintegrasi. Negara pemerintah menunjukkan pada penguasa dan pemimpin dari masyarakat nasional ini. Mendefinisikan sosiologi politik sebagai ilmu negara berarti menempatkannya dalam klasifikasi ilmu-ilmu sosial yang didasarkan pada hakikat dari masyarakat-masyarakat yang dipelajari. Sosiologi politik dalam pengertian ini berbeda dari sosiologi keluarga, sosiologi kota, sosiologi agama, sosiologi etnik atau kelompok minoritas.
Konsep yang diuraikan di atas merupakan konsep tua dari sosiologi politik. Konsep lain yang lebih modern menganggap bahwa dari sosiologi politik adalah ilmu tentang kekuasaan, pemerintahan, otoritas, komando, di dalam semua, masyarakat manusia bukan saja di dalam masyarakat nasional. Konsepsi ini berasal dari Leon Duguits, ahli hukum Perancis, yang dinamakan perbedaaan anatara yang memerintah (goverments) dan yang diperintah (gouvemes) (Duverger, 1989: 19). Dia percaya bahwa dalam setiap kelompok manusia dari yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang sifatnya sementara sampai yang stabil, ada orang yang memerintah dan mereka yang diperintah, mereka yang memberikan perintah dan mereka yang menaatinya, mereka yang membuat keputusan dan mereka yang mematuhi keputusan tersebut. Pembedaan ini merupakan fakta politik yang fundamental yang berada dalam setiap masyarakat dan pada setiap tingkatan sosial. Pandangan ini menempatkan sosiologi politik di dalam klasifikasi yang lain dari pengertian yang pertama, yaitu suatu yang didasarkan bukan pada hakikat masyarakat yang dipelajari, tetapi pada jenis fenomena yang ada dalam setiap masyarakat. Dengan demikian, sosiologi politik dalam pengertian ini berbeda tetapi sejajar dengan sosiologi ekonomi, sosiologi kesenian, sosiologi agama dan lain sebagainya. Dari sudut pandang ini sosiologi politik diartikan sebagai "ilmu tentang kekuasaan dalam masyarakat".
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah kekuasaan dalam masyarakat yang bagaimana yang menjadi cakupan sosiologi politik. Apa dalam setiap lapisan masyarakat atau dalam lingkup masyarakat tertentu? Menjawab pertanyaan ini Duverger memberikan dua penjelasan. Penjelasan pertama dilihat dari ukuran dan kompleksitas kelompok-kelompok sosial dan kedua dilihat dari hakikat ikatan-ikatan organ isatorisnya.
Menurut Duverger (1989) dilihat dari ukuran (size) dan kompleksitasnya ada dua kelompok masyarakat, yaitu kelompok elementer atau kelompok kecil dan kelompok kompleks. Kekuasaan dalam kelompok yang lebih besar inilah yang ada sangkut-pautnya dengan sosiologi politik, sedangkan pada kelompok- kelompok yang kecil menjadi wilayah kajian psikologi sosial. Namun demikian, pembedaan secara demikian dianggap kurang akurat. Karena teramat sulit membedakan antara kelompok-kelompok elementer dan kelompok-kelompok kompleks. Karena pada kelompok-kelompok elementer pun terdapat kompleksitas tersendiri. Dalam kelompok sekecil apa pun menurut Duverger menunjukkan adanya proses diferensiasi yang menghasilkan klik, koalisi-koalisi, dan groups yang melibatkan peranan atau menggunakan kekuasaan. Berdasarkan ukuran (size) ini, maka kajian sosiologi politik mencakup "makropolitik" yang berada dalam komunitas-kominitas yang besar dan "mikropolitik" yang berada pada kelompok-kelompok kecil.Sementara itu dilihat dari ikatan-ikatan organisatorisnya, masyarakat dapat dibedakan dalam masyarakat "swasta" dan masyarakat "universal". Masyarakat swasta adalah "kelompok-kelompok dengan kepentingan- kepentingan khusus dan rasa solidaritas terbatas yang masing-masing kelompok sesuai dengan kategori tertentu dari aktivias manusia". Termasuk dalam kategori masyarakat ini, misalnya serikat buruh, organisasi olahraga, organisasi kesenian, perusahaan komersial, organisasi-organisasi profesi dan organisasi- organisasi sosial lainnya. Masyarakat universal adalah masyarakat yang meliputi dan melebihi semua masyarakat-masyarakat swasta ini. Masyarakat universal adalah "masyarakat yang memiliki kategori umum tertentu, tidak hanya didasarkan pada kegiatan atau aktivitas tertentu saja". Tetapi juga, rasa solidaritas lebih besar, lebih dalam, lebih mesra daripada masyarakat- masyarakat swasta.
Bagi sebagian penulis, kekuasaan dalam masyarakat universal merupakan objek analisa sosiologi politik bukan kekuasaan di dalam masyarakat swasta. Alasan bagi golongan ini adalah bahwa di dalam masyarakat swasta, otoritas atau kekuasaan dianggap hanya memiliki hakikat teknis tidak mempersoalkan masalah ketergantungan individuindividu dalam hubungan dengan yang lain suatu hal yang justru merupakan dasar dari kekuasaan. Secara sekilas pembedaan ini tampak sesuai dengan arti populer dari "politik". Misalnya, jika kita membicarakan pemimpin-pemimpin politik dan pemerintah berarti membicarakan otoritas dalam masyarakat universal. Namun, jika dikaji secara mendalam perbedaan antara masyarakat universal dan masyarakat swasta tidak bisa menjadi dasar bagi definisi sosiologi politik. Pertama, pembedaan tersebut samarsamar sifatnya. Misalnya, apakah keluarga merupakan masyarakat universal atau masyarakat swasta? Demikian juga apakah masyarakat agama merupakan masyarakat universal atau masyarakat swasta? Bagi kepala keluarga, keluarga dipandang sebagai masyarakat universal. Begitu juga bagi pemimpin agama, masyarakat agama merupakan masyarakat universal. Namun, bagi yang lain tentu belum tentu dipandang demikian. Kedua, ada dua paham mengenai masyarakat universal. Paham pertama, didefinisikan oleh perasaan memiliki (sense of belonging) rasa kekariban (sense of fellowship) yang mempengaruhi totalitas kegiatan anusia. Paham kedua adalah konsep lebih bersifat formal dan yuridis, yakni menganggap masyarakat universal pada masa kini sebagai nation state (negara bangsa). Sementara pada zaman lain, bisa kota, suku, dan lainnya. Jika paham kedua yang dipakai, maka akibatnya akan terjebak pada teori yang menyamakan sosiologi politik dengan negara.Masyarakat mana yang menjadi kajian sosiologi politik? Apakah masyarakat universal? Menurut Duverger, hal tersebut sulit diterima, jika sosiologi politik didefinisikan sebagai "ilmu tentang kekuasaan di dalam masyarakat universal" tidak lebih baik daripada didefinisikan sebagai "ilmu tentang kekuasaan di dalam negara". Karena seringkali kedua ungkapan tersebut dianggap sinonim oleh yang mempergunakannya. Agar dapat keluar dari kesulitan itu, Duverger menyarankan lebih baik melihatnya dari segi "hubungan-hubungan otoritas" (authority relationship) yang berjenis-jenis di dalam semua masyarakat baik itu kecil atau besar, sederhana atau kompleks, swasta atau universal. Hubungan otoritas yang dimaksudkan adalah setiap hubungan yang tidak sama di mana seseorang atau beberapa individu menguasai yang lain dan mengarahkannya menurut kehendaknya sendiri. Pada umumnya hubungan manusia memang demikian. Dalam kenyataannya, sangat sedikit yang benar-benar egalitarian (sama sederajat). Persoalannya sekarang adalah hubungan otoritas yang bagaimana yang melibatkan "kekuasaan" dalam arti yang tepat. Untuk menjelaskan masalah ini, Duverger membedakan hubungan-hubungan yang bersifat luas yakni hubungan yang bersifat "institusional" dan hubungan dalam arti sempit yang bersifat "personal". Kekuasaan dari sudut pandang ini adalah terdiri atas seluruh kerangka institusi sosial yang berhubungan dengan otoritas yang berarti adanya dominasi beberapa orang terhadap yang lainnya. la bukan hubungan-hubungan yang sederhana yang tidak sama dan tidak memiliki sifat institusional dan tidak berasal dari institusi. Ada dua kriteria untuk membedakan institusi dengan hubungan yang bersifat sempit. Pertama, yang bersifat fisikal dan kedua sikap kolektif dan keyakinan. Secara fisikal hubungan yang bersifat sempit adalah hubungan manusia yang tidak terikat kepada model-model yang sudah ada terdahulu, iasanya berlangsung tidak permanen, sporadis, sekejap, dan tidak stabil. Sedangkan, institusi adalah model hubungan yang berlaku sebagai pola hubungan yang kongkrit, bersifat stabil, berlangsung lama dan kohesif. Model- model institusional relatif sama dengan pengertian "struktur" dalam sosiologi modern. Struktur adalah sistem hubungan-hubungan yang tidak akan terlepas dari hubungan itu sendiri dan keasliannya ditentukan oleh hubungannya dengan model struktural. Dalam arti ini, maka parlemen, menterimenteri kabinet, kepala-kepala negara dan pemilihan umum adalah institusi. Atas dasar keyakinan manusia kekuasaan dirasakan sebagai kekuasaan
oleh mereka yang menaatinya dan mereka yang menggunakannya. Bagi mereka, hal tersebut bukan hanya fenomena fisik sebuah dominasi, melainkan juga fenomena psikologis. Dalam hal ini, masalah "legitimasi" (keabsahan) menjadi penting. Kekuasaan selalu dianggap sebagai sesuatu yang "legitimate" (sah untuk diterima) sampai tingkat tertentu. Oleh karena kita menerima kekuasaan tersebut, maka sangatiah wajar bila kita menaatinya. Kekuasaan ditaati, karena kita pikir kita harus berbuat demikian, karena kita percaya bahwa kekuasaan "sah" adanya untuk ditaati. Jadi, keabsahan ini yang membedakan kekuasaan dari sekedar hubungan otoritas.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi politik adalah "ilmu tentang kekuasaan dalam setiap kelompok manusia atau masyarakat". Secara lebih tegas, Duverger menganggap sosiologi politik sama dengan ilmu politik hampir tidak ada bedanya. Hal ini didasarkan pemahaman bahwa sosiologi sama dengan ilmu-ilmu sosial. Jika ilmu politik adalah salah satu bidang dari ilmu-ilmu sosial, maka sosiologi politik dianggap seagai salah satu cabang dari sosiologi. Oleh karena itu, menurut Duverger yang juga
mendapat pengakuan di Perancis, sosiologi politik sama dengan ilmu politik yakni sama-sama mengkaji kekuasaan dalam masyarakat sebagai objek studi.
Pemikiran Duverger yang sangat sosiologis tersebut, tentu ditolak oleh para ahli politik. Rush dan Althoff, misalnya keduanya tidak sependapat dengan pemikiran bahwa sosiologi politik adalah cabang dari sosiologi dan dianggap sebagai ilmu politik. Keduanya hanya mengakui bahwa ada studi-studi politik yang dilakukan oleh para sosiolog, seperti Marx Webwer, Mosca, dan Pareto dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Menurut Rush dan Althoff, sosiologi politik merupakan bidang subjek yang mempelajari mata rantai antara politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku politik. Menurutnya sosiologi politik merupakan jembatan teoritis dan jembatan metodologis antara sosiologi dan ilmu politik, atau yang oleh Sartori disebut hybrid inter- dicipliner.
Bila disimak lebih mendalam, maka posisi sosiologi politik sebagaimana diungkapkan oleh Duverger di atas, tampaknya lebih tepat jika diterapkan pada program sudi Ilmu Sosiologi. Sementara pemikiran Rush dan Althoff sangat tepat diterapkan pada program studi ilmu politik. Untu kepentingan pembelajaran pada program studi PPKn, maka pendapat Rush dan Althoff, secara substantial tampaknya lebih cocok menjadi acuan mata kuliah ini. Artinya, hakikat sosiologi politik dalam mata kuliah ini dipandang sebagai "suatu kajian yang menyajikan konsep-konsep sosiologi dan konsep-konsep ilmu politik serta mengkaji masalah-masalah politik yang ditinjau secara sosiologis".
C. Skema Konseptual
Sosiologi politik didefinisikan sebagai subjek area (bidang subjek) beberapa orang lain menamakan mata rantai antar politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik, dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku politik dengan melihat sosiologi politik merupakan jembatan teoritis dan jembatan metodologis antara sosiologi dan ilmu politik, atau yang oleh Sartori disebut hybird inter-dicipliner.
Skema konsepsi tersebut dilandaskan pada empat konsep, yaitu;
sosialisasi politik, partisipasi, penerimaan atau perekrutan politik dan komunikasi politik. Semua konsep itu sifatnya interdependent, bergantung satu
sama lain dan saling berpautan. Karenanya kita mendefinisikannya sebagai berikut:
1. Sosialisasi politik adalah proses, oleh pengaruh mana seseorang individu bisa mengenali sistem politik yang kemudian menentukan sifat persepsi- persepsinya mengenai politik serta reaksinya terhadap gejaiagejala politik. Sosialisasi politik mencakup pemeriksaan mengenai lingkugan kultural, lingkungan politik dan lingkungan sosial dari masyarakat individu yang bersangkutan. Juga mempelajari sikap-sikap politik serta penilaiannya terhadap politik. Maka sosialisasi politik itu merupakan mata rantai paling penting di antara sistem-sistem sosial dengan sistem sistem politik, namun satu sistem bisa berbeda sekali dengan sistem lainnya.
2. Partisipasi politik ialah keterlibatan individu sampai pada bermacam- macam tingkatan di dalam sistem politik. Aktiviatas politik itu bisa bergerak dari ketidak-terlibatan sama-pai dengan aktivitas jabatannya. Oleh karena itu, partisipasi politik itu berbeda-beda pada satu masyarakat dengan masyarakat lainnya, juga bisa bervariasi di dalam masyarakat- masyarakat khusus, maka pentinglah bagi kita untuk mempelajari konsep- konsep mengenai apa itu politik dan alienasi serta peranan mereka dalam ketidak-terlibatan dan keterlibatan mereka yang terbatas.
3. Perekrutan politik adalah proses dengan mana individu-individu menjamin
atau mendaftarkan diri untuk menduduki suatu jabatan. Perekrutan ini merupakan proses dua arah dan sifatnya bisa formal maupun tidak formal. Merupakan proses dua arah karena individuindividunya mungkin mampu mendapatkan kesempatan atau mungkin didekati oleh orang lain dan kemudian bida menjabat posisi-posisi tertentu.
4. Komunikasi politik ialah proses dimana informasi plitik yang relevan
diteruskan dari sauatu bagian sistem politik kepada bagian lainnya, dan diantara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik. Kejadian tersebut merupakan proses yang berkesinambungan, melibatkan pula pertukaran informasi di antara individu-individu dengan kelompok- kelompoknya pada semua tingkat masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar