Pengertian dan Ruang
Lingkup APBN
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (Pasal 1 angka 7, UU No. 17/2003).
Merujuk Pasal 12 UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu
tahun anggaran meliputi:
a.
Hak pemerintah pusat yang
diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih;
b.
Kewajiban pemerintah
pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih;
c.
Penerimaan yang perlu
dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada
tahun anggaran yang bersangkutan maupun
pada
tahun-tahun anggaran berikutnya.
Semua
penerimaan dan pengeluaran negara dilakukan melalui rekening kas umum negara. (Pasal 12 ayat (2) UU No. 1/2004)
Tahun
anggaran adalah periode pelaksanaan APBN selama 12 bulan. Sejak tahun 2000,
Indonesia menggunakan tahun kalender sebagai tahun anggaran, yaitu dari tanggal
1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Sebelumnya, tahun anggaran dimulai
tanggal 1 April sampai dengan 31 Maret tahun berikutnya. Penggunaan tahun
kalender sebagai tahun anggaran ini kemudian dikukuhkan dalam UU Keuangan
Negara dan UU Perbendaharaan Negara (Pasal
4 UU No. 17/2003 dan Pasal 11 UU No. 1/2004).
Sebagaimana ditegaskan dalam Bagian
Penjelasan UU No. 17/2003, anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan
kebijakan ekonomi. Sebagai fungsi akuntabilitas, pengeluaran anggaran hendaknya
dapat dipertanggungjawabkan dengan menunjukkan hasil (result) berupa outcome
atau setidaknya output dari
dibelanjakannya dana-dana publik tersebut. Sebagai alat manajemen, sistem
penganggaran selayaknya dapat membantu aktivitas berkelanjutan untuk
memperbaiki efektifitas dan efisiensi program pemerintah. Sedangkan sebagai
instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan
dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka
mencapai tujuan bernegara.
Merujuk
Pasal 3 Ayat (4) UU No. 17/2003, APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan,
pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung
arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan
belanja pada tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa
anggaran negara menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada
tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran
negara menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan negara
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti
bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan
pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektifitas
perekonomian. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara
harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Fungsi stabilisasi mengandung
arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan
keseimbangan fundamental perekonomian.
Tabel
1 di bawah menyajikan struktur APBN. Struktur APBN terdiri dari pendapatan
negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit, dan
pembiayaan. Sejak TA 2000, Indonesia telah mengubah komposisi APBN dari
T-account menjadi I-account sesuai dengan standar statistik keuangan
pemerintah, Government Finance Statistics (GFS).
Pendapatan
Negara dan Hibah.
Penerimaan
APBN diperoleh dari berbagai sumber. Secara umum yaitu penerimaan pajak
yang meliputi pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai,
dan Pajak lainnya, serta Pajak Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan
ekspor) merupakan sumber penerimaan utama dari APBN. Selain itu, penerimaan
negara bukan pajak (PNBP) meliputi penerimaan dari sumber daya alam, setoran
laba BUMN, dan penerimaan bukan pajak lainnya, walaupun memberikan kontribusi
yang lebih kecil terhadap total penerimaan anggaran, jumlahnya semakin
meningkat secara signifikan tiap tahunnya. Berbeda dengan
sistem
penganggaran sebelum tahun anggaran 2000, pada sistem penganggaran saat ini
sumber-sumber pembiayaan (pinjaman) tidak lagi dianggap sebagai bagian dari
penerimaan.
Dalam
pengadministrasian penerimaan negara, departemen/lembaga tidak boleh
menggunakan penerimaan yang diperolehnya secara langsung untuk membiayai
kebutuhannya. Beberapa pengeculian dapat diberikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan terkait.
Belanja
Negara.
Belanja negara terdiri atas anggaran belanja
pemerintah pusat, dana perimbangan, serta dana otonomi khusus dan dana
penyeimbang. Sebelum diundangkannya UU No. 17/2003, anggaran belanja pemerintah
pusat dibedakan atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. UU No.
17/2003 mengintrodusing uniffied
budget sehingga tidak lagi ada pembedaan antara pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. Dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana
alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK). Sementara itu, dana otonomi
khusus dialokasikan untuk provinsi Daerah Istimewa Aceh dan provinsi Papua.
Defisit
dan Surplus.
Defisit
atau surplus merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran.
Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut defisit; sebaliknya, penerimaan
yang melebihi pengeluaran disebut surplus. Sejak TA 2000, Indonesia menerapkan
anggaran defisit menggantikan anggaran berimbang dan dinamis yang telah
digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun.
Dalam
tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu: keseimbangan primer
(primary balance) dan
keseimbangan umum (overall balance). Keseimbangan primer adalah
total penerimaan dikurangi belanja tidak
termasuk pembayaran bunga. Keseimbangan umum adalah total penerimaan
dikurangi belanja termasuk pembayaran bunga.
Pembiayaan.
Pembiayaan diperlukan untuk menutup defisit
anggaran. Beberapa sumber pembiayaan yang penting saat ini adalah:
pembiayaan dalam negeri (perbankan dan non perbankan) serta pembiayaan luar
negeri (netto) yang merupakan selisih antara penarikan utang luar negeri
(bruto) dengan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri.
I-Account
APBN 2004
A.
PENDAPATAN NEGARA dan
HIBAH
I. Penerimaan
Dalam Negeri
1. Penerimaan
Perpajakan Pajak Dalam Negeri
i.
Pajak Penghasilan
1.
Minyak dan Gas
2.
Non Minyak dan Gas
ii. Pajak
Pertambahan Nilai
iii.Pajak
Bumi dan Bangunan
iv. Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
v.
Cukai
vi. Pajak
Lainnya
Pajak
Perdagangan Internasional
i.
Bea Masuk
ii. Pajak/Pungutan
Ekspor
2. Penerimaan
Bukan Pajak Penerimaan Sumber Daya Alam
i.
Minyak Bumi
ii. Gas
Alam
iii.Pertambangan
Umum
iv. Kehutanan
v.
Perikanan
Bagian
Laba BUMN
PNBP
Lainnya
II.
Hibah
B. BELANJA NEGARA
I. Anggaran
Belanja Pemerintah Pusat 1. Pengeluaran Rutin
Belanja
Pegawai
Belanja
Barang
Pembayaran
Bunga Hutang
i.
Hutang Dalam Negeri
ii. Hutang
Luar Negeri Subsidi
i.
Subsidi BBM
ii. Subsidi
Non BBM Pengeluaran Rutin Lainnya
2. Pengeluaran
Pembangunan Pembiayaan Pembangunan Rupiah Pembiayaan Proyek
II.
Dana Perimbangan
1.
Dana Bagi Hasil
2.
Dana Alokasi Umum
3.
Dana Alokasi Khusus
III.
Dana Otonomi Khusus dan
Penyeimbang
C.
KESEIMBANGAN PRIMER
D.
SURPLUS/DEFISIT ANGGARAN
(A-B)
E.
PEMBIAYAAN (E.I + E.II)
I. Dalam
Negeri
1.
Perbankan Dalam Negeri
2. Non-perbankan
Dalam Negeri Privatisasi
Penjualan Aset program restrukturisasi
perbankan Obligasi Negara (netto)
i.
Penerbitan Obligasi
Pemerintah
ii. Pembayaran
Cicilan Pokok Hutang/Obligasi DN
II.
Luar Negeri
1.
Pinjaman Proyek
2.
Pembayaran Cicilan Pokok
Hutang LN
3.
Pinjaman Program dan
Penundaan Cicilan Hutang
VII. Proses APBN Pra UU
No. 17/2003
Penyusunan dan Penetapan APBN
Proses
penyusunan dan penetapan APBN dapat dikelompokkan dalam dua tahap, yaitu: (1) pembicaraan
pendahuluan antara pemerintah dan DPR, dari bulan Februari sampai dengan
pertengahan bulan Agustus dan (2) pengajuan, pembahasan dan penetapan APBN,
dari pertengahan bulan Agustus sampai dengan bulan Desember. Berikut ini
diuraikan secara singkat kedua tahapan dalam proses penyusunan APBN tersebut.
Pembicaraan
Pendahuluan antara Pemerintah dan DPR.
Tahap ini diawali
dengan beberapa kali pembahasan antara pemerintah dan DPR untuk menentukan
mekanisme dan jadwal pembahasan APBN. Kegiatan dilanjutkan dengan persiapan
rancangan APBN oleh pemerintah, antara lain meliputi penentuan asumsi dasar
APBN, perkiraan penerimaan dan pengeluaran, skala prioritas dan penyusunan
budget exercise untuk dibahas lebih lanjut dalam rapat antara Panitia Anggaran
dengan Menteri Keuangan dengan atau tanpa Bappenas. Pada tahapan ini juga
diadakan rapat komisi antara masing-masing komisi (Komisi I s.d IX) dengan
mitra kerjanya (departemen/lembaga teknis). Tahapan ini diakhiri dengan proses
finalisasi penyusunan RAPBN oleh Pemerintah. Secara lebih rinci, tahapan ini
bisa dijelaskan sebagai berikut:
Menteri
Keuangan dan Badan Perencanaan Nasional (BAPPENAS) atas nama Presiden mempunyai
tanggung jawab dalam mengkoordinasikan Penyusunan APBN. Menteri Keuangan
bertanggungjawab untuk mengkoordinasikan penyusunan anggaran belanja rutin.
Sementara itu Bappenas bersama-sama dengan Menteri Keuangan bertanggung jawab
dalam mengkoordinasikan penyusunan anggaran belanja pembangunan.
Persiapan
anggaran dimulai dengan assessment indikator fiskal makro oleh Badan Analisa
Fiskal, Departemen Keuangan. Selanjutnya Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas
menerbitkan Surat Edaran agar departemen teknis mengajukan usulan anggaran
rutin maupun pembangunan. Usulan anggaran rutin (Daftar Usulan Kegiatan, DUK)
diajukan ke Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) pada bulan Juni. DUK tersebut
lebih terfokus pada program costing
dan perubahan harga. DJA dan departemen teknis mereview DUK tersebut dengan
titik tekan pada costing
ketimbang policy. Pada bulan Agustus,
DJA menerbitkan pagu pengeluaran rutin sebagai dasar bagi departemen teknis
untuk menyusun anggaran rutin lebih detil.
Sementara
itu, usulan anggaran pembangunan diajukan oleh departemen teknis kepada DJA dan
Bappenas. DJA dan Bappenas mereview usulan anggaran pembangunan tersebut
berdasarkan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) dan Rencana Pembangunan
Tahunan (REPETA). Menteri Keuangan memberikan pertimbangan mengenai pagu
anggaran pembangunan sebagai dasar pembahasan antara DJA, Bappenas, dan departemen
teknis.
Selanjutnya
pada bulan Agustus, Presiden mengajukan Nota Keuangan dan RAPBN kepada DPR
untuk mendapatkan persetujuan.
Pengajuan,
pembahasan dan penetapan APBN
Tahapan
ini dimulai dengan Pidato Presiden sebagai pengantar RUU APBN dan Nota
Keuangan. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan baik antara Menteri Keuangan
dengan Panitia Anggaran, maupun antara komisi-komisi dengan departemeen/lembaga
teknis terkait. Hasil dari pembahasan ini adalah Undang-undang APBN yang
disahkan oleh DPR. UU APBN kemudian dirinci ke dalam satuan 3. Satuan 3 yang
merupakan bagian tak terpisahkan dari undang-undang tersebut adalah dokumen
anggaran yang menetapkan alokasi dana per departemen/lembaga, Sektor, Sub
Sektor, Program dan Proyek/Kegiatan.
Apabila
DPR menolak RAPBN yang diajukan pemerintah tersebut, maka pemerintah
menggunakan APBN tahun sebelumnya. Hal itu berarti pengeluaran maksimum yang
dapat dilakukan pemerintah harus sama dengan pengeluaran tahun lalu.
VII.2. Pelaksanaan Anggaran
Berdasarkan
satuan 3, Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) dan Departemen/Lembaga membahas
rincian pengeluaran rutin berdasarkan pedoman penyusunan DIK dan indeks satuan
biaya yang disusun oleh tim interdep. Proses ini harus diselesaikan dari
Oktober sampai dengan Desember. Sedangkan untuk pengeluaran pembangunan, DJA,
Bappenas, dan departemen teknis membahas rincian pengeluaran untuk tiap-tiap
proyek. Hasil pembahasan tersebut didokumentasikan ke dalam dokumen-dokumen
berikut:
(1) Dokumen Isian Kegiatan (DIK). DIK merupakan
dokumen anggaran yang berlaku sebagai otorisasi
untuk pengeluaran rutin pada masing-masing unit organisasi pada
Departemen/Lembaga yang dirinci ke dalam belanja pegawai dan non pegawai.
(2)
Daftar
Isian Proyek (DIP). DIP merupakan dokumen anggaran yang
berlaku sebagai otorisasi untuk
pengeluaran pembangunan untuk masing-masing proyek pada Departemen/Lembaga yang
dirinci ke dalam belanja modal dan penunjang.
(3)
Surat
Pengesahan Alokasi Anggaran Rutin (SPAAR). SPAAR adalah dokumen yang
menetapkan besaran alokasi anggaran rutin untuk setiap kantor/satuan kerja
departemen teknis di daerah yang selanjutnya akan dibahas antara Kantor Wilayah
DJA dan instansi vertikal Departemen/Lembaga untuk kemudian dituangkan dalam
DIK.
(4)
Surat
Pengesahan Alokasi Anggaran Pembangunan (SPAAP). SPAAP adalah dokumen yang menetapkan
besaran alokasi anggaran
pembangunan untuk setiap proyek/bagian proyek yang selanjutnya akan dibahas
antara Kantor Wilayah DJA dengan ins-tansi vertikal/dinas untuk kemudian
di-tuangkan dalam DIP.
(5)
Surat
Keputusan Otorisasi (SKO). SKO
adalah dokumen otorisasi untuk penyediaan dana kepada Departemen, Lembaga, Pemerintah Daerah dan pihak lain
yang berhak baik untuk rutin maupun pembangunan yang tidak dapat ditampung
dengan DIK atau DIP.
DIK/DIP/SKO
disampaikan oleh Direktorat Jenderal Anggaran kepada Departemen/Lembaga.
Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut, Departemen/Lembaga melaksanakan pengadaan
barang dan jasa dengan pihak ketiga. Tagihan yang timbul sebagai akibat
pelaksanaan pengadaan barang dan jasa tersebut disampaikan kepada Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN). Selanjutnya KPKN meneliti keabsahan
tagihan-tagihan dimaksud dan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM).
Untuk mengawasi
pelaksanaan tugas KPKN tersebut, di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran
terdapat Kantor Verifikasi Pelaksanaan Anggaran (KASIPA) yang bertanggung jawab
untuk memverifikasi Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkan oleh KPKN.
Dalam
rangka melaksanakan manajemen kas dan untuk mencegah departemen/lembaga
melakukan pengeluaran secara berlebihan pada awal periode tahun anggaran,
Menteri Keuangan membatasi jumlah pengeluaran rutin untuk satu triwulan
maksimal sama dengan seperempat dari jumlah alokasi dana yang tersedia.
Sedangkan untuk belanja pembangunan, pencairan dana disesuaikan dengan tingkat
kemajuan prestasi penyelesaian proyek.
VII.3. Pengawasan dan Pertanggungjawaban APBN
Fungsi
pengawasan pelaksanaan APBN dilakukan oleh pengawas fungsional baik eksternal
maupun internal pemerintah. Pengawasan eksternal dilakukan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) yang menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR. Sementara itu,
pengawasan internal dilakukan oleh inspektorat jenderal/inspektorat utama pada
masing-masing departemen/lembaga dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) pada semua departemen/lembaga (termasuk BUMN). Pengawasan yang dilakukan
oleh pengawas internal maupun eksternal tersebut di atas bersifat post audit.
Berdasarkan
realisasi penerimaan dan pengeluaran APBN dalam tahun anggaran berjalan,
Menteri Keuangan menyiapkan Rancangan Undang-Undang Perhitungan Anggaran Negara
(RUU PAN) dan diajukan kepada presiden untuk mendapatkan persetujuan.
Selanjutnya
RUU PAN tersebut disampaikan kepada BPK untuk diaudit. Presiden mengajukan RUU
PAN yang telah diaudit oleh BPK tersebut kepada DPR paling lambat 15 bulan
setelah berakhirnya tahun anggaran bersangkutan.
Setelah
DPR menyetujui RUU PAN tersebut, Presiden mengesahkan RUU PAN menjadi
Undang-undang Perhitungan Anggaran (UU PAN).
0 komentar:
Posting Komentar